Kisah Pelayaran Legendaris Phinisi Nusantara

Kisah Pelayaran Legendaris Phinisi Nusantara by Maskolis
Capt. Gita Arjakusuma adalah pelaut Indonesia yang berhasil melayarkan kapal tradisional Phinisi Nusantara dari Indonesia ke pantai barat Amerika sejauh 11.000 mil selama 67 hari. Tekadnya menghadapi gelombang dan menerjang badai, sungguh luar biasa. Hingga ia berhasil mendaratkan Phinisi dengan selamat dan turut mengharumkan nama dan bangsa Indonesia di pameran internasional Vancouver Expo 1986.

Gita sebenarnya 'anak gunung' yang dibesarkan di tanah priangan, Jawa Barat. Bersama para pelaut Bugis, Makassar, kembali membuktikan kepada dunia kalau nenek moyang kita memang orang pelaut!

Siapa sebenarnya dia? Bagaimana kisah dibalik kesuksesannya itu? Ternyata, tekadnya lahir setelah ia di cap sebagai anak dari keluarga 'tidak bersih lingkungan' karena ayahnya,  mayor penerbang TNI-AU dianggap berada pada 'tempat dan waktu yang salah' menyusul kudeta terselubung pada gerakan 30 September 1965.

Ayahnya ditahan selama 9,5 tahun, hingga akhirnya dibebaskan begitu saja tanpa melalui proses persidangan. Dan Gita, yang kebetulan berdinas di TNI-AL kariernya mentok sampai pangkat Kapten.

Ia memutuskan keluar dari TNI-AL karena tekanan batin dan beban moral dari lingkungannya. Sejak ayahnya di tahan, praktis hidupnya tersaruk-saruk dan melata di tanah airnya sendiri. Ia pun lantas bertekad membersihkan nama baik keluarganya dengan melayarkan kapal tradisional Phinisi Nusantara hanya untuk mencari kesempatan bisa berbicara dengan para petinggi di negerinya untuk mencari kejelasan status ayahnya. 'Indonesia Waters' menurunkan penuturan Gita.

Tiga Alasan Melayarkan Phinisi Nusantara
Hanya tiga alasan yang mendorong saya melayarkan Phinisi Nusantara dari Indonesia ke pantai barat Amerika, sejauh 11.000 mil.
Pertama, pelayaran itu dikehendaki oleh almarhum ayah. Kedua, kami tidak rela jika Phinisi Nusantara dilayarkan oleh nakhoda Orang asing. Dan terakhir, keinginan untuk membuktikan bahwa perahu tradisional Bugis bisa menempuh pelayaran samudera sebagai bukti sejarah! Namun di atas segalanya, adalah sebagai upaya seorang anak untuk merehabilitasi ayahnya: almarhum Sueb Ardjakusuma, yang telah mengabdi kepada bangsa dan negara sebagai perwira TNI-AU, tetapi harus tercampakkan oleh sesuatu yang tak pernah bisa dipahaminya. Bahkan, tidak juga ia mampu sekedar membela dirinya. Maka, pelayaran Phinisi Nusantara merupakan voyage yang harus saya lakukan, setelah lama kami membisu.
Bekerja sebagai Port Captain
Kisah ini bermula pada tahun 1985. Pada saat itu, kami sudah mempunyai dua orang anak. Anak pertama laki-laki, lahir pada 12 Februari 1979, kami namai Genardi Pratama. Menyusul anak kedua seorang wanita, lahir pada 8 Mei 1983, kami beri nama Nitya Ayudhita. Artinya adalah buah cinta. Sedangkan dhita adalah singkatan dari Dodi nama panggilan istri saya dan ta adalah Gita.
Tahun demi tahun berjalan dengan tenang, setelah saya secara resmi memutuskan untuk meninggalkan tugas operasional di Angkatan Laut -- yang juga berarti saya mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh jajaran di TNI-AL. Dan saya pun mencari pekerjaan di luar pemerintahan.
Sesuai dengan perkembangan armada di tanah air, pada saat itu sebuah perusahaan pelayaran bernama Andhika Lines, saya dengar membutuhkan seseorang untuk mengisi posisi Port Captain. Dan rupanya, diantara para nakhoda, saya terpilih menjadi Port Captain, yang bertugas mengatur keselamatan, operasi kapal maupun barang.
Hingga awal tahun 1986, tugas-tugas yang kami lakukan sebagai port captain, dapat dilaksanakan dengan baik. Karena saya mempunyai suatu keuntungan atau kelebihan, yang kami kira juga ini merupakan rahmat dari Allah SWT bahwa selama saya menjadi nakhoda di atas kapal, kami bersyukur dan merasa beruntung karena tidak mengalami musibah-musibah, yang bisa mengurangi rasa percaya diri kami.
Kami tidak pernah mengandaskan kapal, bertabrakan atau berurusan dengan pihak Imigrasi dan Bea Cukai, maupun berbenturan dengan para anak buah kapal. Jadi, selama bertugas sebagai nakhoda kapal, tugas-tugas dapat saya laksanakan dengan lancar dan aman. Ini tentunya berkat kerja sama dengan para awak kapal semuanya. Bagaimana kami berusaha bekerja keras di atas sebuah kapal bak sebuah rumah terapung, di mana kita hidup sebagaimana dalam sebuah keluarga, yang senantiasa harus saling mengasihi.

Keluarga Nasional
Sementara itu, adik-adik saya sudah menyelesaikan pendidikannya di Universitas. Dan satu-persatu kemudian membangun keluarga masing-masing. Memang unik keluarga kami ini. Mungkin bisa dikatakan, inilah ‘’Keluarga Nasional Indonesia’’. Sebab ternyata, akhirnya keluarga kami bercampur membentuk satu keluarga besar yang terdiri dari beberapa suku, yang ada di Indonesia. Seperti, saya sendiri seorang Sunda yang mengawini wanita Jawa. Adik saya menikah dengan orang Batak, kemudian adik-adik ipar kami berasal dari Aceh, Manado, Bali. Sisanya, menikah dengan orang Sunda.
Para tetangga yang tinggal berdekatan dan kebetulan turut menyaksikan perjalanan hidup kami, sering menyampaikan kepada Ibu, betapa mereka merasa turut bergembira dan merasa bersyukur, sebab pada akhirnya kami bisa menjadi seperti sekarang ini.

Padahal, mereka yang menjadi saksi-saksi hidup itu, dulu turut menyaksikan bagaimana kami, ke delapan anak yang masih kecil-kecil itu berangkat sekolah, pulang sekolah dan bermain bersama anak-anak mereka. Seolah mereka melihat film kehidupan dari sebuah keluarga yang didera cobaan hidup. Tahun demi tahun, hingga sembilan tahun yang berat itu berlalu, kami benar-benar berjuang untuk sekadar bisa melanjutkan kehidupan dengan segala kesulitan dan tantangannya.

Setelah ayah keluar dari tahanan, penderitaan pun tidak berlalu begitu saja. Dengan beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah pada waktu itu, memang banyak sekali hambatan-hambatan yang harus dialami oleh sebagian rakyatnya, terutama mereka yang telah divonis sebagai anak-anak 'tidak bersih lingkungan'.

Kenyataan itu, dirasakan oleh adik-adik saya. Mereka tidak bisa bekerja di tempat-tempat yang memang (sesuai peraturan waktu itu) tidak diperbolehkan, bagi keluarga yang dikategorikan tidak bersih lingkungan.

Kami, sembilan bersaudara. Diantara adik-adik saya: tiga perempuan menjadi dokter dan kemudian bekerja di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Dua orang lulusan Ekonomi, satu orang lulus Sarjana Hukum dan seorang adik saya satu-satunya yang laki-laki telah menjadi insinyur, lulusan dari ITB. Tentunya mereka harus berupaya mencari pekerjaan-pekerjaan yang memang hanya diperbolehkan bagi mereka.

Kami berupaya, sejak dini untuk hidup merendah, tetap hidup low profile. Jangan sampai menimbulkan rasa iri hati kepada orang lain atau teman sejawat mereka. Sebab, jika hal demikian terjadi, mereka akan sangat mudah mendiskreditkan kami dengan dalih sebagai anak Tapol, anak lingkungan tidak bersih, sehingga jenjang karier akan sangat terhambat.

Phinisi Nusantara
Suatu hari, pada tahun 1986, ayah menunjukkan sebuah berita di koran yang mengabarkan tentang suatu proyek pelayaran. ‘’Git, coba nih baca,’’ katanya. Saya raih koran itu. Berita itu, intinya menyebutkan tentang rencana Pemerintah yang akan melayarkan sebuah kapal tradisional Bugis dalam rangka turut memeriahkan Vancouver Expo’86 di Kanada, Amerika.
Vancouver adalah negara bagian British Columbia, yang posisinya terletak di pantai barat Amerika, menghadap ke Samudera Pasifik. Masyarakat di sana sangat menghargai budaya bahari. Nama Vancouver sendiri berasal dari seorang navigator Inggris Captain Sir George Vancouver, yang menemukan koloni baru itu, pada tahun 1792.
Pameran akbar internasional semacam Vancouver Expo, memang menjadi ajang setiap negara untuk memamerkan beragam hasil produksi dan keunggulan karya bangsa yang mencerminkan ketinggian peradaban budaya masing-masing.
Bagi pemerintah Indonesia sendiri, Vancouver Expo bukanlah pameran internasional pertama yang diikuti. Sebelumnya, pada 1963 kita pernah mengikuti New York World Fair yang bertema ‘’Progress And Harmony In Mankind’’. Kemudian pada 1970, pemerintah kita juga pernah mengikuti pameran serupa bertema Komunikasi dan Transportasi di Osaka, Jepang. Setahun sebelum Expo di Vancouver atau pada 1985, kita turut pula menjadi peserta pada pameran bertema kemajuan Teknologi dan Pariwisata, yang berlangsung di Tsukuba, Jepang.
Vancouver Expo’86 yang berlangsung pada 2 Mei – 12 Oktober 1986 itu, bertema ‘’World In Motion, World In Touch’’, dimanfaatkan oleh seluruh negara peserta untuk menunjukkan perkembangan kemajuan teknologi di bidang Komunikasi dan Transportasi.
Begitulah, pavilyun Indonesia pun tidak ingin ketinggalan. Terjadi kesibukan, baik di kantor Kedutaan Besar RI di Kanada, yang bertugas mengkoordinir persiapan penyelenggaraan anjungan Indonesia, maupun panitia di Jakarta. JB. Sumarlin sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ditunjuk Presiden Soeharto sebagai penanggungjawab.

Karena keunggulan kita di bidang teknologi komunikasi dan transportasi belum bisa dibanggakan, maka Pemerintah Indonesia menekankan pada aspek kekayaan budaya dan spirit bahari. Karena itu, Pavilyun Indonesia justru memamerkan perahu tradisional Asmat dari Irian Jaya, dari Kalimantan, Madura dan Bali sebagai kekuatan dan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Bahkan, di dermaga, ditampilkan sebuah perahu phinisi bernama Phinisi Antar Bangsa.
Phinisi Antar Bangsa bukanlah kapal yang disiapkan untuk berlayar, tetapi hanya dipamerkan. Kapal itu, semula dibuat di Tanah Beru, Makassar, secara utuh, kemudian dibongkar terurai, dimasukkan peti kemas dan dirakit lagi di Vancouver.
Kegiatan merakit kapal itu sendiri, sudah sangat menarik perhatian para pengunjung pameran dan tentunya turut mengangkat pamor Pavilyun Indonesia di mata pengunjung Vancouver Expo, yang sebelumnya, selama bulan Mei, dirasakan sepi pengunjung.
Di kemudian hari, Anjungan Indonesia pada Expo’86 Vancouver dinilai sukses. Hal itu ditunjukkan oleh penilaian lebih kurang 100 suratkabar di negara Kanada yang memasukkan Indonesia ke dalam kelompok ‘’Top Twelve’’ berbintang empat di topik ‘’A Must See’’ .
Namun, seperti dikatakan JB. Sumarlin ‘’Dibalik (kesuksesan) itu, kehadiran perahu tradisional ‘Phinisi Nusantara’ melalui ekspedisi lintas Samudra Pasifik dalam Operasi Patih Gajah Mada, membawa makna tersendiri. Pelayaran ekspedisi yang lebih banyak bersifat demonstrasi berlayar dengan perahu tradisional itu, telah mengingatkan kembali bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bahari,’’ katanya.

Keberhasilan melayarkan Phinisi itu sendiri, tidak terlepas dari orang-orang yang turut berjasa baik pada awal perencanaan, pada saat pembuatan, maupun orang-orang yang turut mendukung pelaksanaan pelayaran Phinisi Nusantara, yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu. Termasuk kalangan pers dan sebagian pembacanya, yang sempat meragukan keberhasilan pelayaran ini.
Pada awalnya, gagasan melayarkan sebuah phinisi dari Indonesia ke benua Amerika itu, bermula dari cetusan ide seorang anggota DPA yaitu Mayjen RM. Slamet Danusudirjo. Pada suatu pertemuan persiapan panitia inti Expo’86 di Jakarta, ia sempat melontarkan pertanyaan yang menantang: ‘’Mengapa kita tidak melayarkan sebuah phinisi yang lain dari Jakarta ke Vancouver?’’

Para putera bangsa bahari Indonesia, yang hadir saat itu, sebagaimana dilukiskan Pius Caro, dibuat terhenyak mendengar tantangan itu. Mereka semua berpikir keras, sebab ini benar-benar tantangan yang nyata. Gagasan untuk melayarkan kapal phinisi dari Indonesia ke pantai barat Amerika, memang merupakan ide gila! Meskipun bukan sesuatu yang mustahil.
Komite persiapan pelayaran dibentuk pada awal Maret 1985 dengan anggotanya antara lain: Laksamana Urip Santoso dan Ir. Robi Sularto. Ide gila itu kemudian semakin mendekati kenyataan, meskipun sempat tersendat-sendat, karena memang tidak ada anggaran yang cukup guna membiaya; ongkos pembuatan, bahan baku, perlengkapan navigasi, permesinan, yang semuanya diperkirakan menelan biaya sebesar Rp 505 juta.
Maka Panita kemudian merancang kapal yang memenuhi beberapa tuntutan seperti kemampuan jelajah Samudera, keamanan dan kenyamanan yang cukup tinggi, serta bernilai komersial untuk dijual. Sebagai ketua harian dipilih Laksamana Urip Santoso, sedang untuk desain dan konstruksi ditunjuk DR. Ing. Sularto Hadisuwarno SE, Ketua Bappeda Tingkat I Sulawesi Selatan, yang juga dosen teknik perkapalan pada Universitas Hasanuddin.
Setelah semua dipersiapkan, termasuk pembuatannya di galangan kapal IKI, Makassar, maka pertanyaannya: lantas siapa yang akan melayarkan kapal itu?
Memang, lebih kurang tiga minggu setelah kegiatan pembuatan kapal itu dimulai, datanglah ke galangan itu seorang pria berkebangsaan Perancis bernama Phillipe Petiniaud bersama istrinya dengan perahu (yacht) mereka sendiri Srinoanoa. Kabarnya, Petiniaud adalah wakil pemilik – dalam hal ini komite ekspedisi – untuk mengawasi pembangunan perahu itu (owner supervisor). Dan ternyata, justru kemudian Phillipe lah yang katanya akan melayarkan kapal itu, dibantu beberapa anak buah kapal (ABK) asal Bugis.
Berita-berita di koran pun menyebutkan bahwa Phinisi akan dilayarkan oleh nakhoda asing. ‘’Masa’ kapal kita dilayarkan oleh nakhoda orang asing, Git!’’ kata ayah saya, sambil menunjuk berita di koran.

Tampaknya, ayah sangat berkeinginan kapal itu dilayarkan oleh bangsa Indonesia sendiri, sebab pelayaran itu sudah menyangkut kebanggaan nasional. Dan orang yang diinginkan ayah, justru saya sendiri sebagai seorang perwira TNI Angkatan Laut. ‘’Kenapa bukan kamu saja?’’ katanya seraya memandang tajam. Sepertinya, ayah memang menghendaki saya berbuat sesuatu. Bagaimanapun, beliau cukup memahami kehidupan kami jauh ke belakang dan melihat kemungkinan hari depan untuk memperbaikinya.
Saya merenung dan merenung kembali. Mungkin inilah jalan bagi saya untuk kembali mengangkat dan merehabilitasi keluarga kami? Maka bulatlah sudah, bahwa saya harus berusaha mengangkat kembali nama keluarga ARDJAKUSUMA di masyarakat.
Membaca berita di koran itu, entah bagaimana, seakan timbul semacam desakan yang meronta di dalam diri saya. Jiwa dan semangat hidup saya kembali terpanggil, karena ayah lah yang meminta, karena ayah pula yang menghendaki. ‘’Baiklah, mungkin inilah jalan bagi kami untuk dapat mengangkat nama baik keluarga Ardjakusuma,’’ saya bergumam. Tetapi, sedikitpun saya tidak bermaksud ingin menjadi jagoan atau menjadi pahlawan. Terlebih lagi, yang melecut diri saya adalah kenyaataan bahwa kapal itu akan dilayarkan oleh orang asing!
Bila kami bertemu dengan adik-adik di rumah, sering kami bertukar pikiran, bagaimana susahnya kehidupan dengan kategori sebagai anak ‘tidak bersih lingkungan’. Memang jenjang karier adik-adik saya, mau pun ipar-ipar, juga sangat terganggu. Seorang ipar saya, dokter yang berdinas di Angkatan Darat pun tersaruk-saruk dalam meniti jenjang kariernya. Bekerja sebagai dokter di kota Bandung, setelah bertahun-tahun mengabdi baru belakangan ini saja, dia bisa mencapai pangkat Kolonel, yang mestinya secara wajar bisa lebih tinggi dari itu. Hal yang sama, juga dialami adik-adik saya yang lain.
Dengan adanya ganjalan-ganjalan itu, kami mulai berpikir: memang harus ada upaya untuk mengangkat nama baik keluarga. Diantara sembilan bersaudara, akhirnya saya lah satu-satunya anak yang tidak lulus universitas. Pendidikan saya hanya lulusan Perwira Akademi Angkatan Laut. Dan hanya pengetahuan-pengetahuan mengenai kelautan lah yang saya miliki. Dan itulah, yang bisa saya lakukan. Saya berpikir, mudah-mudahan inilah jalan yang bisa mengangkat kembali nama keluarga Ardjakusuma di masyarakat.
Hanya dengan keberhasilan proyek inilah nantinya, mungkin orang akan mengenal siapa Ardjakusuma yang sebenarnya, setelah dicampakkan sedemikian rupa.Sengaja, saya tidak melepaskan nama belakang Ardjakusuma. Saya tidak gentar, bahwa nama itu akan dikait-kaitkan dengan masa lalu ayah, karena saya betul-betul sangat mencintai kedua orang tua. Dan keyakinan saya, orang tua kami bukanlah dari golongan Komunis. Itu yang menjadi tekad saya.

Mission Impossible!
Saya ikuti proyek phinisi Nusantara sejak awal. Pada akhirnya, Panitia membutuhkan seorang Nakhoda di atas kapal itu. Kemudian saya mengontak Laksamana Urip Santoso, ketua Harian Ekspedisi Phinisi Nusantara. Kepadanya saya katakan, bila diperlukan seorang nakhoda untuk pelayaran ini, saya siap membantu proyek ini. 

Cerita itu, akhirnya sampai kepada Laksamana Sudomo. Setelah mendengar nama saya, beliau teringat pada proyek pelayaran Java Doll, pada tahun 1972. Laksamana Sudomo ketika itu diminta bantuan oleh Kol. Jerry Mitchell, Atase Angkatan Laut Amerika, untuk membawa perahu kecil dari KeeLung, Taiwan ke Jakarta, yang kemudian saya bersama John Gunawan dan Serma Abrar Buhari menyanggupi permintaan itu. Pelayaran Java Doll berakhir dengan sukses. Jadi, begitu mendengar saya mengajukan diri, dengan serta merta Pak Domo menyetujui dan mengirimkan surat ke pihak pimpinan Andhika Lines untuk meminjam saya, sebagai nakhoda dalam proyek Phinisi Nusantara. 

Memang kami dengar bahwa sebetulnya, Kepala Staf Angkatan Laut pada waktu itu, menghendaki nakhoda yang membawa kapal itu adalah dari kalangan perwira Angkatan Laut. Namun ternyata, setelah beberapa perwira Angkatan Laut diuji coba kemampuannya, Pak Domo tetap memilih saya. 

Setelah mendapat izin dari perusahaan, kemudian secara resmi saya terlibat sepenuhnya dalam proyek Phinisi Nusantara. Dan proses pembuatan kapal itu, saya ikuti dari awal. 

Kalau melihat kapal yang saat itu sudah 90 persen selesai dikerjakan, siapa yang tidak akan gentar melihat kondisi kapal itu? Sekali pandang saja, orang bisa mengatakan bahwa kapal itu memang tidak layak laut. Kapal dibuat dengan sangat sederhana. Dibuat secara tradisional, tanpa gambar oleh pengarajin-pengrajin di Tanah Beru. 

Namun dengan tekad yang kuat - apa pun yang akan terjadi – saya bersumpah akan melayarkan kapal ini. Saya pun pergi ke galangan kapal IKI di Ujung Pandang (sekarang Makassar) dan mulai menyusun para calon ABK lainnya.

Terpikir dalam benak saya, demi keberhasilan pelayaran ini, harus dibentuk tim yang kompak, yang mempunyai keahlian di bidangnya masing-masing. Jadi, tentunya kapal ini, tidak harus diawaki semuanya oleh pelaut-pelaut Bugis. Karena pelayaran mengarungi lautan sejauh lebih dari 10.000 mil ke benua Amerika, kapal ini dilengkapi peralatan tambahan yang sangat kompleks. 

Phinisi Nusantara dilengkapi peralatan yang canggih seperti: peralatan pemantau cuaca Radio Weather Faximile, Radar JRC/JMA-300 radius 24 NM, Gyro Compass/Tokyo Keiki, Satelite Navigator JRC, peralatan komunikasi Inmarsat (International Maritime Satelite) JRC JUW, Radio SSB (Side Single Band) Inti, Radio VHF (Very High Frequency) dan Radio FM Tranceiver JHV 212. 

Dalam menentukan masalah layar dan bahari, memang orang-orang Bugis lah yang paling menguasai. Mereka sangat ahli dan sangat berani untuk melayarkan kapal itu. Namun keahlian alamiah itu, harus dipadu dengan awak yang terampil dan mampu mengoperasikan peralatan modern. Untuk itu, kami merekrut orang-orang mesin dari Andhika Lines, sehingga akhirnya terkumpul lah satu tim yang kompak. 

Para ABK yang berasal dari pelaut tradisional Bugis, terdiri dari; Muhammad Hatta, Rusli, Mappagau, Muhammad Hasan, dan Abdullah. Sementara pelaut modern adalah Hasyim (ahli komunikasi), Atok Issoluchi (ahli mesin), Amrillah Hasan (ahli listrik), Roy Rusdiman (juru masak), juga direkrut Pius Caro (wartawan Kompas), yang medianya menjadi salah satu sponsor kegiatan ini. 

Memang ada satu kendala bagi saya pada waktu itu, berkenaan dengan kehadiran Phillipe. Meskipun secara tulus ia menyatakan ingin ikut dalam pelayaran ini. Namun entah bagaimana, saya melihat sesuatu yang janggal di dalam tim ini. Para ABK terdiri dari suku-suku Indonesia; Jawa, Bugis, Padang, umumnya mereka bisa bekerja berdampingan dengan kompak dan rasa persaudaraan yang kental. Justru, teman bule ini, agak lain. Posisinya sebagai konsultan pembuatan kapal, menerbitkan sifat congkak dan kesombongan khas Eropa. Seolah-olah, dia merasa jauh lebih pandai atau lebih mampu dari kami. Sikap demikian, terus menjadi ganjalan di hati saya, sebagai nakhoda. 

Sebetulnya dengan pengalaman melayarkan kapal jenis yacht dari KeeLung ke Jakarta, dengan pengalaman menjadi nakhoda di kapal-kapal berbobot mati di atas 10.000 DWT, saya sangat yakin dan cukup mampu melayarkan Phinisi tanpa bantuan orang asing. Hal itu beberapa kali saya nyatakan, karena saya tak tahan melihat sikap sombong dari orang asing itu. Kepada panitia saya sampaikan: saya tidak memerlukan orang asing, yang pada akhir pelayaran akan menilai keberhasilan kami karena adanya bantuan dia. Ini tentu penilaian yang tidak fair! Dan rupanya, persoalan ini terus berlangsung. 

Hambatan selama pelayaran memang tidak sedikit. Dalam pelayaran uji coba Makassar-Jakarta, namanya saja uji coba, kapal ini mengalami beberapa kerusakan yang cukup mencemaskan. Pondasi generator, tiba-tiba retak. Karena rusak, kerja generator terganggu bahkan tidak berfungsi maka aliran listrik ke pompa-pompa penguras tidak bekerja. Kejadian itu membawa hikmah dengan mengharuskan dipasangkannya paling sedikit dua generator dan dua pompa listrik-mekanis independen untuk fungsi pengurasan dan pemadam kebakaran. 

Saya berpendapat, anggota tim mesin perlu ditambah satu orang lagi, yang sangat ahli menangani peralatan mesin merk Lyster yang dipasok oleh PP. Berdikari. Maka, ketika kami singgah di Jakarta, direkrut Amrillah, seorang ahli mesin dari Lyster. Selanjutnya, permasalahan-permasalahan mengenai mesin; motor bantu Genset, peralatan pompa, bisa dioperasikan dengan baik. 

Dalam pelayaran uji coba itu, kapal juga mengalami kebocoran-kebocoran. Peristiwa itu, kemudian menjadi santapan pers yang menggambarkan pelayaran Phinisi Nusantara sebagai Mission Impossible! 

Saya berusaha menenangkan panitia, bahwa peristiwa-peristiwa tersebut, ditambah berita di koran, jangan diambil pusing. ‘’Kapal bocor bagi pelaut itu biasa. Yang penting genangan air masih dapat diatasi dengan peralatan yang ada,’’ kata saya. ‘’Bila kapal terombang-ambing pada saat cuaca buruk, yang terpenting jangan melawan alam. Bertahanlah pada kondisi yang terburuk, agar kira dapat menghadapi kondisi yang lebih buruk lagi!’’ 

Setiap pelaut sejati tahu itu. Hujan tak akan turun satu bulan penuh, dalam tiga hari hujan pasti akan berhenti. Cuaca buruk jangan mencoba mengusirnya. Yang penting, bagaimana menghadapinya dengan tabah. 

Apakah kami bisa berhasil sampai di Vancouver? Dari pelayaran Jakarta ke Bitung pun kapal ini harus berdeviasi ke Surabaya untuk perbaikan. Sementara, pada pelayaran uji coba dari Makassar - Jakarta, selalu terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil, antara Phillipe dengan anak-anak buah asal Bugis. Dan sayangnya, Phillipe selalu mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar. ‘’Orang Indonesia bodoh, tolol, goblok!’’ 

Umpatan semacam itu, dengan mudah meluncur dari mulutnya jika ia sedang marah. Sehingga, lama-kelamaan, bagi saya seakan menjadi duri dalam daging. Sikap Phillipe itu, saya ungkapkan beberapa kali kepada panitia bahwa sebetulnya kami sanggup berlayar tanpa dia. Dan itu terutama, setelah kami rapatkan di pelabuhan terakhir di Bitung. 

’’Saya ingin kejelasan, sebetulnya Philipe ini ikut untuk apa? Karena kalau hanya bertugas untuk membantu kami, saya tidak memerlukan. Saya cukup dan mampu dengan orang-orang ada, ’’ 
Namun rupanya panitia berpendapat lain. Dengan nada membela, panitia meyakinkan saya, bahwa dia dengan tulus ingin ikut dalam proyek ini. Dan Phillipe pun menyadari posisi dan sikapnya yang menimbulkan antipati itu. Ia berjanji akan mengubah perilakunya. 

‘’Baiklah, kalau begitu! Tetapi, saya hanya minta supaya dia menjaga mulutnya untuk tidak begitu mudah mengatakan: ‘’(Orang) Indonesia bodoh, kepada pelaut-pelaut Bugis yang ada di kapal,’’ Memang dari hari ke hari, pertengkaran kecil antara dia dengan pelaut-pelaut Bugis, selalu saja terjadi. 

Rencana pelayaran Phinisi Nusantara ini sudah menjadi isu nasional. Maka setiap langkah kapal ini, menjadi perbincangan tingkat nasional. Tak heran, kemudian timbul sikap pesimistis, apakah kapal ini bisa berhasil sampai di Vancouver? Dari pelayaran uji coba selanjutnya Jakarta-Bitung pun, kapal ini harus berdeviasi ke Cirebon untuk perbaikan karena spi roda kemudi patah. 

Selama menuju Cirebon, roda kemudi terpaksa diganjal kunci inggris yang besar. Untuk menutupi rasa malu, bila diketahui umum, maka selama di Pelabuhan Cirebon, bila ada yang bertanya, kami sepakat mengatakan: ‘’Sedang terpaksa singgah, karena diperintahkan oleh panitia di Jakarta untuk menjemput seorang panitia yang akan ikut berlayar ke Bitung!’’ 

Semua pejabat pelabuhan, bahkan perwira TNI-AL di pelabuhan Cirebon, percaya dengan alasan itu. Hingga akhir pelayaran Phinisi Nusantara, akal bulus seperti itu tidak pernah tercium oleh masyarakat luas. He…he…he.. 

Selanjutnya, dalam pelayaran dari Bitung menuju Honolulu, turut naik ke kapal Frank Koller, wartawan dari Canadian Broadcasting Corporation (CBC), Kanada. Ternyata, Koller bersikap sangat baik terhadap para awak kapal. Sehingga Koller lah yang selalu tampil menengahi pertengkaran-pertengkaran kecil yang terjadi antara Philipe dengan para pelaut Bugis.

Gila, Kamu! Pelayar Legendaris
Pada 22 Juli 1986, kami tiba di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Selama di sana, kami mendapat bantuan dari Gubernur CJ. Rantung. Beliau menyumbangkan 100 ekor ikan cakalang, bahan bakar, beras, mie, dan lain-lain. Setelah pembekalan itu, tak diduga kami mendapat kunjungan Menteri Pariwisata dan Telekomunikasi Jenderal (Purn) Ahmad Taher, yang kebetulan berada di Bitung untuk meresmikan Sentral Telepon Otomat Bitung.

‘’Kamu betul-betul berani melayarkan perahu seperti ini menyeberangi Pasifik?’’ Tanya Pak Taher.
 ‘’Kami akan mencoba, Pak,’’
 ‘’Gila Kamu!’’ kata Pak Taher, masih tetap tersenyum sambil meletakkan jari telunjuknya, melintang di dahi.

Kesan Pak Taher terhadap kami, bisa dimengerti. Kami memang ‘orang-orang gila’, yang berusaha membawa nama bangsa dan negara. Jarak Bitung-Honolulu mencapai 6050 nautical mile, bukan pelayaran yang mudah dan sederhana. Di tengah Samudera Pasifik itu, kami bagai sabut kelapa yang setiap saat dipermainkan gelombang, mungkin ditenggelamkan badai atau amukan alam yang tak suka dengan ambisi ‘orang gila’ 


Phinisi Nusantara tetap merayap terguncang-guncang pada haluan 070. Pada posisi 04 derajat Lintang Utara/130 derajat Bujur Timur. angin bertiup dari arah barat laut, tapi arus laut justru datang dari arah berlawanan sehingga Phinisi Nusantara melaju terseok-seok. Terdengar suara berderak-derak tiada henti. 

Keberadaan kami di Samudera Pasifik ini semakin terasing. Siang itu, 26 Juli 1986, kalau ditarik garis lurus ke arah barat laut maka Teluk Davao, Filipina, berjarak 35 jam pelayaran. Ditarik garis lurus ke arah barat daya, maka Pulau Morotai berada 16 jam pelayaran. Sedangkan Pulau Sonsorol yang berada diujung garis haluan kapal, jaraknya 35 mil. Pulau Anna, AS, di lambung kanan jaraknya 35 mil dan Honolulu sebagai pelabuhan singgah, jaraknya masih 36 hari pelayaran

Ah, persetan dengan angka-angka dan perhitungan waktu yang memusingkan. Persetan dengan nasib. Kami sudah kepalang berlayar jauh. Terlebih lagi, tekad sudah bulat. Yang penting ialah berupaya sekuat tenaga, penuh kesabaran, tahan uji dan tawakal. 

Di tengah samudera yang maha luas, kami bagai anak ayam kehilangan induk. Tak ada tempat berlindung dari badai ataupun taifun. Oleh karena itu, kapal ini dan para ABK, kami anggap sebagai rumah dan keluarga kandung. Tempat kami berbagi kasih dan saling tolong-menolong. Jika ada anggota keluarga yang merasa paling berkuasa, kami anggap sebagai dinamika biasa bukan sikap otoriter. 

Proyek (Mengirim Mayat ke) Laut  
Suatu ketika angin badai mulai menyergap Phinisi Nusantara. ‘’Ambil layar! Cepat ambil layar!’’ teriak Mappagau sambil keluar dari anjungan. Ambil layar dalam dialek Bugis, berarti menurunkan layar. Saya yang sedang berada di anjungan membiarkan Mappagau memegang komando, menyuruh ABK yang sedang jaga, ketika badai dengan kecepataan 30 knots datang. 

Merasa sebagai pelaut berpengalaman, Mappagau memerintahkan semua ABK menggulung semua layar tanpa perlu mendapat persetujuan nakhoda. Tindakan Mappagau di saat badai turun itu, saya biarkan saja. Saya ingin tahu sampai di mana kepemimpinannya dapat memberikan perlindungan kepada seluruh awak dan keselamatan kapal ini. 

Di tengah lautan kami berlayar sambil didorong arus khatulistiwa. Perahu bertingkah ditekan angin kencang dan dikocok ombak dan gelombang. Walau tanpa layar selembarpun, Phinisi Nusantara melaju didorong tiga kuasa alam, angin ribut, arus laut dan ombak gelombang yang datang dari arah buritan. Sehingga Phinisi Nusantara seperti sedang berlayar mengikuti banjir ke arah hilir. 

Usai badai itu reda, saya kumpulkan semua ABK. Saya jelaskan, tindakan Mappagau tadi tidak dapat dibenarkan. Jika angin kencang semakin tak tertahankan, maka pertama-tama yang harus diturunkan adalah layar-layar puncak (top sail). Mengapa demikian? Karena tekanan angin di puncak tiang bisa menyebabkan perahu miring dan mungkin sekali terbalik. Jika tak tertahankan juga, maka layar besar belakang (spanker sail) harus diturunkan, kemudian menyusul layar utama (main sail), layar jib-luar dan jib-tengah. Sedangkan layar jib-dalam (stay sail) tidak boleh digulung berhubung fungsi rangkapnya sebagai pembantu kemudi agar kapal lebih mudah diatur. Urut-urutan itu penting diperhatikan demi mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dengan penggunaan tenaga manusia seminimal mungkin. 

Satu hal yang sangat menggembirkan kami, setelah berlayar selama dua bulan lebih seminggu (67 hari), kami sampai di Victoria, yang berarti hanya perlu satu hari lagi sebelum mencapai Vancouver. Kenyataan itu, seolah memupus perasaan keterangasingan di negeri sendiri, berganti dengan luapan kegembiraan. 

Tiba di Victoria, kami melihat Bapak Sudomo datang dengan pesawat Otter Amphibi dan mendarat di samping kapal kami. Beliau turun, serta-merta memeluk kami satu-persatu. Terlihat begitu terharunya Pak Domo, karena menurut beliau, banyak masyarakat Indonesia yang sangat mencemaskan keberhasilan proyek ini. Malah di koran-koran pun muncul anggapan bahwa proyek ini hanyalah ‘proyek mengantarkan mayat ke laut’ . 

Tidak sedikit masyarakat yang mencibirkan bibir karena menyangsikan keberhasilan proyek ini. Memang, dalam sejarah Indonesia, baru kali inilah sebuah perahu tradisional Bugis yang dibuat oleh tangan-tangan pengrajin Tanah Beru, berhasil selamat di pantai barat Amerika. Inilah bukti kesuksesan yang memupus keragu-raguan masyarakat akan ketangguhan tim kami. Dan itu dinyatakan oleh Bapak Sudomo dengan terbata-bata, menekan perasaannya. Sebab, bagaimana pun beliau sendiri seolah mempertaruhkan namanya untuk meyakinkan keberhasilan proyek ini. 

Telepon Dari Pak Harto 
Pada petang hari itu juga, terjadi sebuah klimaks bagi kami, terutama bagi saya pribadi. Pesawat Inmarsat (International Maritime Satellite) kami menerima pemberitahuan dari Jakarta yang mengabarkan bahwa jam delapan malam ini (perbedaan waktu sekitar 12 jam, sehingga malam hari di Victoria adalah pagi hari di Jakarta), Presiden Soeharto akan menyampaikan ucapan selamat kepada seluruh ABK 

Telepon berdering. Percakapan diawali Pak Domo dengan Presiden Soeharto, kemudian Pak Harto minta berbicara dengan nakhoda, yaitu saya sendiri. Pada intinya, beliau atas nama Pemerintah dan bangsa Indonesia mengucapkan selamat dan menyampaikan terimakasih atas keberhasilan pelayaran Phinisi Nusantara, yang telah menjunjung nama baik bangsa dan negara. 

‘’Keuletan para awak Phinisi Nusantara telah membuktikan semangat bahari bangsa Indonesia kepada dunia. Keuletan itu akan dihargai bukan saja oleh bangsa Indonesia sendiri, tetapi juga oleh bangsa-bangsa di dunia,’’ ujar Presiden Soeharto. Pada bagian akhir pembicaraanya, beliau mengatakan: ‘’Sampaikan salam selamat dan penghargaan saya kepada seluruh ABK,’’ pesan Pak Harto. 

Masih terdengar di telinga saya, beberapa kali Pak Harto menyebutkan nama saya, Gita Ardjakusuma. Begitulah, ucapan yang setulus-tulusnya dari seorang Presiden Indonesia, yang pada waktu itu --entah disadari atau tidak-- disampaikan langsung kepada seorang anak tapol! 

Saat itu, sedikitpun tidak ada perasan apa-apa terhadap Pak Harto meskipun akibat dari policy beliau harus kami terima karena memang diberlakukan terhadap kami dan seluruh keluarga tapol. 

Percakapan saya dengan Pak Harto berlangsung dengan harmonis, tanpa beban. Seolah perbincangan antara seorang bapak dengan anaknya. Namun bagi saya pribadi, pernyataan Pak Harto itu merupakan rehabilitasi dalam arti yang sesungguhnya atas nama baik Ardjakusuma. 

Setelah menerima telepon dari Pak Harto dan Pak Domo pun meninggalkan kapal, di malam hari yang sunyi saya merenung kembali. Inilah rupanya, akhir dari suatu perjuangan: betapa seorang anak, dalam kemampuan dan kekuatannya sendiri, telah berusaha membela nama baik ayahnya. Itulah pula, yang sanggup saya lakukan demi membela keluarga kami, demi ketenangan dan ketentraman almarhum ayah, bahkan jika mungkin bagi masa depan anak-anak dan cucu kami kelak. 

Sesungguhnya, keberhasilan pelayaran Phinisi Nusantara adalah terutama berkat Rahmat dari Gusti Allah Subhannahuwata’ala. Sebab sejak kami berlayar, kami senantiasa memohon kepada Gusti Allah agar dijauhkan dari rintangan, dijauhkan dari malapetaka dan marabahaya di laut. 

Di dalam do’a, saya seolah menagih janji kepada Tuhan. Tunjukkan keadilanMU, ya Allah! Saya pernah menolong sekian ribu orang di lautan. Apakah kini saya harus mati dengan sia-sia dalam pelayaran Phinisi Nusantara? Saya menagih janji, bahwa saya sudah menanamkan pohon. Apakah kami masih diperbolehkan untuk menikmati buahnya? Ribuan nyawa manusia telah saya selamatkan di laut, apakah patut saya mati di lautan? Keyakinan dan do’a itulah yang menjadi tekad saya untuk memberanikan diri melayarkan Phinisi Nusantara ke Vancouver. 

Tidak sedikit pula, selama 68 hari pelayaran itu, kami menerima berbagai cobaan hidup. Setidaknya ada tiga orang keluarga terdekat kami yang meninggal dunia. Pertama, Kolonel (Purn) Samidjo, bapak mertua. Kedua, Ir. Putu Predana, adik ipar. Dan ketiga, Amung Ardjakusuma, 63 tahun, salah seorang paman kami. Mang Amung, demikian ia biasa disapa akrab, semasa mudanya adalah seorang pemain bola jempolan. Almarhum pernah memperkuat tim PERSIB, Bandung, seangkatan dengan Aang Witarsa dan kiper Saelan. Berita duka itu saya terima berturut-turut melalui pesawat Inmarsat.

Pemogokan Para Pelaut Bugis
Beberapa hal unik, yang ingin saya kisahkan selama pelayaran Phinisi Nusantara, yang mungkin tidak sampai ke masyarakat adalah bahwa sebetulnya kami mengalami beberapa problem-problem kesulitan. 

Pendanaan bagi proyek Phinisi yang di bawah Yayasan Phinisi Nusantara, sebetulnya berada di luar dana yang dianggarkan dari pihak Bappenas. Karena itu, muncul ide bahwa setelah tiba di Vancouver kapal ini akan djual. Namun ternyata setelah tiba di sana tidak laku! Sehingga Ketua Bappenas JB. Sumarlin ketika itu, mengumpulkan kontraktor minyak Amerika yang ada di Indonesia untuk turut membantu. Maka terkumpullah 250.000 dolar AS yang sebagian besar digunakan membayar hutang-hutang baik selama proses pembuatan, maupun sesudahnya. Sebagai balas budi, phinisi akan disumbangkan ke salah satu Universitas di Amerika Serikat. 

Pada waktu kami sampai di Vancouver, memang pelayanan yang kita terima, berbeda dengan artis-artis yang sudah duluan sampai di sana. Bayangkan saja, mereka mendapatkan uang saku yang lebih besar dan tinggal di apartemen yang nyaman. Sedangkan kami, pada saa itu musim dingin, harus tidur di kapal yang bersandar persis di depan pavilyun Indonesia. 

Kami harus tidur di kapal tanpa pemanas. Bagi kami, pelaut-pelaut dari Jakarta, tidak masalah karena sudah biasa. Niat kami semula memang ikut berlayar secara sukarela. Namun apa yang terjadi, rupanya para pelaut Bugis itu, saya lihat mudah terprovokasi. 

Entah siapa yang memulai, tiupan angin provokasi sangat kencang dengan iming-iming. ‘’Kalian (para pelaut Bugis) ini memang bodoh, kok mau berlayar sejauh itu dengan bayaran yang sangat kecil,’’ begitu kata-kata yang sempat saya dengar. 

Provokasi ini memang masuk di benak hati mereka. Sehingga pada waktu kemudian kami diminta lagi untuk melayarkan kapal dari Vancouver ke San Diego karena rencananya kapal ini akan dihibahkan ke salah satu Universitas di California, saya menerima laporan dari anak buah kapal bahwa para pelaut Bugis menyatakan mogok untuk berlayar. Mereka tidak mau ikut berlayar lagi. 

Kami adakan pertemuan. Dan dengan penuh keterbukaan, kami tanyakan bagaimana rencana mereka selanjutnya. Mereka tetap tidak ingin ikut berlayar. Malah mereka menganggap bahwa kapal ini tidak mungkin bisa berhasil tanpa pelaut-pelaut Bugis. 

Suasana ini tentunya agak mengganggu kekompakan tim. Namun dengan segala kerendahan hati, dan suasana kekeluargaan, kami sampaikan kembali bagaimana kesediaan mereka untuk berlayar. Mereka mengatakan, bahwa mereka tidak mau berlayar lagi. Kecuali, kalau dibayar 1000 dolar AS per orang! Ini memang diluar dugaan kami. 

Sejak semula saya ikut proyek ini adalah untuk menjunjung nama baik Indonesia. Sehingga niat kami adalah sebagai tenaga sukarelawan. Saya tidak memikirkan berapa yang akan saya terima dari proyek ini. 

Pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa. Hal ini saya sampaikan kepada pimpinan proyek Bapak Ahmad Nurhani, yang juga seorang Bugis. Lalu diadakan rapat lagi, dihadiri oleh bapak Nurhani dan Bapak Bondan Winarno dari pihak Panitia. Pertemuan itu tetap berjalan buntu. Para pelaut Bugis bersikeras tidak mau meneruskan pelayaran, sehingga dengan rasa sedih dan pilu, Bapak Nurhani sebagai orang Bugis, akhirnya menyerahkan keputusan kepada saya. 

Dengan tegar saya katakan, bahwa dengan sisa tim yang ada: yaitu ABK mesin, ABK electrician, juru masak yang kami bawa dari Andhika Lines sendiri, sanggup membawa kapal ini berlayar sampai ke San Diego. Kami perkirakan pelayaran ini akan memakan waktu sekitar 10 hari atau dua minggu. 

Saya tegaskan lagi, saya sudah punya pengalaman melayarkan sebuah kapal layar dari KeeLung, Taiwan Utara, ke Jakarta, hanya dengan tiga orang saja. Jadi kalau kami, berenam membawa kapal phinisi ini ke San Diego, itu bukanlah suatu masalah besar bagi kami. 

Hanya kami jelaskan kembali bahwa saya ingin tim kami tetap kompak. Saya mengerti perasaan orang Bugis dengan daya nalar mereka dan sifatnya yang lugu, mereka mudah terprovokasi. Permintaan imbalan itu sangat wajar, mungkin sebelumnya mereka diberitahu sesampainya kapal ini ke Vancouver, kapal ini akan dijual. Sehingga tentunya, mereka mengharapkan suatu kompensasi. 

Jadi saya sampaikan, saya sendiri dengan tim saya mampu melayarkan kapal ini ke San Diego. Namun saya berpikir, bahwa ini kapal nya orang Bugis, kapal kebanggaan orang-orang di Sulawesi Selatan secara turun-temurun, sehingga saya tidak ingin melukai hati mereka. Tim kami mampu melayarkan ini, namun bagaimana pandangan orang-orang Bugis di Tanah Air? Bahwa kapal Bugis ini hanya dilayarkan oleh para pelaut-pelaut yang bukan orang Bugis? 

Saya ingat kembali, kami sudah menjalin tim yang kompak sedemikian tingginya. Jadi, saya sampaikan bahwa kalau mereka hanya menginginkan uang kompensasi sebesar 1000 dolar AS, saya setuju berikanlah uang itu. Sedang kepada tim kami, yang memang berlayar secara sukarela, tidak perlu dipikirkan. Berikanlah dana itu kepada mereka, sehingga mereka mau lagi bergabung dengan kami. Bukan karena kami takut, bukan karena kami khawatir tidak bisa membawa kapal itu, namun ini demi nama baik dan kekompakan tim Phinisi Nusantara. 

Akhirnya panitia pun menyetujui ide saya, sehingga dana yang tadinya akan dipakai untuk biaya tiket pulang dengan pewasat Garuda, sebagian diberikan kepada para pelaut Bugis tersebut. 

Kami tenangkan para ABK lain, yang berasal dari Jakarta. Bahwa kita adalah sukarelawan di dalam proyek ini, seperti sudah saya ingatkan sejak awal ketika mereka ikut di dalam pelayaran ini. Saya tidak mau menutup-nutupi, tetapi ingin terbuka terutama dalam masalah keuangan. Kami tidak ingin, hanya karena masalah uang, kekompakan tim ini akan jadi porak poranda. 

Setelah permintaan mereka dipenuhi, para pelaut Bugis itu akhirnya bergabung kembali. Kami berupaya untuk menjernihkan suasana, mempererat hubungan yang terbangun selama ini. 

Misi Belum Usai: Dari Vancouver ke San Diego 
Dalam pelayaran dari Vancouver ke San Diego, Philipe tidak ikut karena pelayaran dinyatakan telah berakhir. Ia meninggalkan kapal, karena kontraknya pun habis. Selanjutnya, ada sukarelawan baru yang ikut yaitu Norman Edwin, wartawan Mutiara yang juga pendaki gunung. Sejak awal, ia memang sangat berminat untuk turut dalam proyek ini. Sukarelawan lainnya, adalah putra dari Robby Sularto Sastrowardoyo, pimpinan Pavilyun Indonesia. 

Dalam pelayaran ke Vancouver ini, track-track pelayaran kami selalu memanfaatkan arah angin dan kekuatan arus. Dan untuk ini, kami tidak malu-malu bertanya kepada para pelaut yang ada di sana, untuk memilih track yang paling aman. 

Dalam pelayaran ke San Diego, yang menempuh jarak 1125 mil laut itu, kami mempunyai suatu strategi agar bisa mencapai San Diego dengan aman, karena pada waktu itu cuaca makin memburuk. 

Rute pelayaran tidak bisa tembak langsung lurus ke selatan, menelusuri pantai ke San Diego. Kami disarankan agar menjauhi garis pantai sampai 40 mil. Kami harus mengarahkan kapal ke selat Juan de Fuca, kemudian berbelok ke barat untuk mendapatkan arus laut California yang merupakan lanjutan dari arus Aleuten yang akan mendorong kapal ke selatan. Jika kami langsung menyisir pantai ke selatan, bukannya cepat sampai malah bisa terseret ke Lautan Atlantik. Di kawasan itu, ada arus Davidson yang cenderung mendorong kapal kembali ke arah utara. 

Esoknya, Sabtu 27 September 1986, kami layarkan kapal keluar False Creek. Sekitar 40 menit kemudian kami baru mengubah haluan ke selatan. Begitu masuk arus laut ini, kami terperangah karena harus berhadapan dengan ombak dan arus dari belakang. Arus laut ini sangat mencemaskan kami. Tinggi gelombang sekitar 7-8 meter dan kami didorong dari belakang. Sehingga meskipun pelayaran ini sangat menguntungkan karena kecepatan akan bertambah, namun dengan tingginya gelombang, kami mendengar dengan keras sekali kapal berbunyi berderak-derak mencemaskan

Terus terang, pengalaman ini belum kami alami, sehingga kami tanyakan kepada para pelaut Bugis, sejauhmana kekuatan kapal ini menentang gelombang yang cukup tinggi? Mereka pun rupanya belum pernah berpengalaman menghadapi gelombang setinggi 8 meter ini. 

Sehingga dalam pelayaran Vancouver-San Diego ini, kami harus cermat sekali mengendalikan kemudi. Akhirnya, setelah 12 hari pelayaran, pada tanggal 5 Oktober 1986, kami berhasil masuk ke teluk San Diego dan dengan lancar akhirnya kapal sampai di Broadway Pier, Marina San Diego, yang terletak tepat di jantung kota San Diego. 

Oleh karena hari Minggu merupakan hari libur resmi, maka tidak ada upacara penyambutan yang meriah. Kami hanya disambut oleh Komandan Pangkalan Angkatan Laut Amerika beserta stafnya dengan ramah. Mereka tampaknya telah mendengar rencana kedatangan Phinisi Nusantara ke San Diego. 

Jadi sebetulnya, dalam pelayaran Phinisi itu, kita pernah mengalami suatu hambatan. Namun dengan rasa kekompakan dan rasa persaudaraan, akhirnya masalah itu pun bisa diselesaikan dengan baik. 

Selesai melayarkan Phinisi Nusantara, saya kembali ke Tanah Air. Tidak berapa lama di Jakarta, saya masih diminta untuk mengantar para pelaut Bugis ke Makassar. 

Namun tiba di sana, kami benar-benar larut dalam kegembiraan dan suasana haru. Betapa luar biasa sambutan masyarakat Bugis terhadap tim Phinisi ini. Kami disambut dengan tarian kebesaran adat Bugis, dikenakan sarung Bugis, dikalungi bunga, kemudian mendapat kehormatan diterima oleh Gubernur Sulawesi Selatan. Saya sebagai orang Sunda, tentu saja merasa tersanjung karena bisa diterima sebagai warga kehormatan dengan sambutan adat tradisional Bugis. 

Selesai mengantar para pelaut Bugis ke tanah leluhur mereka, saya kembali ke Jakarta dan bertugas kembali di PT. Andhika Lines. Setahun kemudian, pada 1987 saya ditugaskan ke Jepang, mewakili perusahaan. 

Ketika saya bertugas di Jepang itulah, saya dipanggil secara khusus untuk hadir di Jakarta. Pada tanggal 10 Nopember 1989 bertepatan dengan hari Pahlawan, saya menerima penghargaan berupa tanda jasa Satya Lencana Pembangunan di bidang bahari. Penyematan tanda jasa berlangsung di atas geladak KRI Teluk Ende. Tentu saja, penghargaan inipun saya dedikasikan juga bagi seluruh ABK. Khususnya para pelaut Bugis.

Gambar Profil Kapal Layar Tradisional Indonesia Phinisi Nusantara 
Karya Para Pengrajin Tanah Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan